Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Menuju Peningkatan Keterlibatan Pemangku Kepentingan Melalui Upaya Pemantauan

 

Lokasi

Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia

Tantangan

Wakatobi dinamai setelah empat pulau utama Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, yang bersama-sama dengan pulau-pulau kecil 35 terdiri dari Kepulauan Tukang Besi di ujung tenggara Sulawesi, Indonesia. Terletak di dalam Segitiga Terumbu Karang, daerah ini dikenal karena keanekaragaman terumbu karangnya yang luar biasa dan sumber daya lautnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, terutama untuk perikanan. Sebagian besar penduduk 111,402 di kabupaten Wakatobi bergantung pada laut untuk penghidupan mereka. Untuk meningkatkan pengelolaan terumbu karang dan perairan di sekitarnya, 3.3 juta hektar pulau dan perairan dinyatakan sebagai Taman Nasional Wakatobi (WNP) di 1996.

Pembersihan pantai Tomia Wakatobi Poassa Nuhada

Pembersihan pantai secara rutin dilakukan oleh kelompok pemuda dan ekowisata di Tomia. Kegiatan bersih-bersih ini merupakan salah satu cara untuk menanamkan kesadaran lingkungan pada anak-anak. Foto © Poassa Nuhada

Selain ancaman terkait perikanan dan pembangunan pesisir, peningkatan suhu laut yang terkait dengan peristiwa El Niño/La Niña muncul sebagai ancaman penting dan penyebab utama pemutihan karang yang parah. Survei kuantitatif kejadian pemutihan dan survei ketahanan terumbu pada 2010-2011 menunjukkan 65% karang terkena dampak dengan kematian kurang dari 5%. Mortalitas yang rendah ini menunjukkan bahwa karang tersebut bersifat resilien; namun, semua area memerlukan zonasi yang lebih baik untuk memasukkan perlindungan situs yang sangat tangguh, pengelolaan perikanan herbivora, dan penghapusan praktik penangkapan ikan yang merusak.

Pada tahun 2019, dalam mendukung masyarakat lokal untuk memetakan kawasan lindung adat, survei kuantitatif kembali dilakukan untuk memetakan dan mengkonfirmasi nilai ekologis kawasan di Kepulauan Kaledupa dan Tomia. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan lindung adat mereka memiliki nilai ekologis yang tinggi yaitu 'tepian' ikan, perlindungan keanekaragaman karang, atau tempat pembibitan ikan.

Spesies ikan tahun 2020 dan analisis morfometrik genetik memberikan bukti awal bahwa ikan yang saat ini dipanen secara bebas adalah Stenatherina panatelaI, spesies yang biasanya dipanen hanya dalam waktu terbatas, di area terbatas, dan dengan metode penangkapan tertentu. Penelitian menyeluruh tentang spesies ini belum dilakukan di seluruh dunia. Meskipun spesies ini tidak terlalu penting secara ekonomi di daerah lain, di Pulau Tomia spesies ini dikonsumsi sebagai makanan musiman. Permintaan yang lebih tinggi menyebabkan nelayan semakin banyak menggunakan jaring daripada metode penangkapan yang lebih berkelanjutan. Penelitian telah memberikan dasar hukum bagi hukum adat ini untuk diterapkan secara luas di daerah tersebut, sehingga memberikan kontrol yang lebih besar untuk dan konservasi spesies ini.

Terumbu karang Taman Nasional Laut Wakatobi Rizya Algamar YKAN

Terumbu karang di Taman Nasional Laut Wakatobi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Foto © Rizya Algamar/YKAN

Tindakan diambil

Dengan melibatkan masyarakat lokal, The Nature Conservancy (TNC) di Indonesia terus fokus pada pengelolaan kolaboratif dan membangun landasan hukum yang kuat untuk zonasi dan penegakan taman. Pada tahun 2012, TNC membantu memfasilitasi pembentukan Cagar Biosfer di mana masyarakat, terutama kelompok adat, dipandang sebagai aktor penting.

Untuk mengatasi ancaman terhadap terumbu karang dan melindungi situs yang penting secara ekologis dari potensi kerusakan, peraturan dan praktik adat dihidupkan kembali. Selain pemetaan situs-situs yang penting secara ekologis, pengelolaan situs-situs tersebut juga ditegakkan oleh para tetua dan hukum adat. Pengelolaan kawasan laut tertentu secara lestari oleh kelompok adat dimungkinkan karena terbitnya SK Bupati pada tahun 2019. Pengelolaan berbasis adat juga telah direvitalisasi untuk memanen hasil laut. Stenatherina panatela yang telah sangat dieksploitasi dalam beberapa tahun terakhir dan yang populasinya menurun.

Wakatobi

Jenis-jenis zona meliputi: zona inti dari tidak-ambil dan tidak-masuk, zona laut tanpa-ambil, zona pariwisata tanpa-ambil yang hanya memungkinkan kegiatan pariwisata non-ekstraktif, dan zona penggunaan tradisional yang didedikasikan untuk perikanan pelagis.

Saat ini masyarakat lebih banyak melibatkan kelompok dalam pemantauan dan pengawasan WNP. Pemantauan berbasis masyarakat terjadi di hampir keempat pulau di mana struktur Masyarakat Adat (IP) dan kearifan lokal hadir. Di Wangi-Wangi dan Tomia, Masyarakat Adat yang didukung oleh YKAN (afiliasi TNC di Indonesia), bersama dengan staf WNP, berperan aktif untuk memantau panen ikan pelagis (Siganus sp. dan Stenatherina sp.) untuk melindungi area bank ikan mereka di Tomia. Di Kaledupa, Masyarakat Adat telah merevitalisasi kearifan lokal mereka untuk melindungi kawasan bakau dan mengelola kawasan mereka untuk memastikan peraturan pemanenan gurita dipatuhi. Upaya baru ini dibangun di atas banyak program pemantauan di Taman Nasional Wakatobi yang menilai efektivitas rencana pengelolaan, termasuk:

  • WNP Rangers mencatat rincian pengguna sumber daya di taman selama beberapa hari survei setiap tahun.
  • Pemantauan berkala oleh staf Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mencatat jumlah dan jenis ikan di lokasi Agregasi Pemijahan Ikan dan untuk mensurvei pantai peneluran penyu dan mencatat jenis, ukuran, dan jumlah penyu yang bertelur.
  • Setiap tahun 1-2, jagawana WNP mengumpulkan data tentang kondisi populasi ikan dan terumbu karang di seluruh taman.
  • Pengamatan oportunistik terhadap fauna laut besar (paus dan lumba-lumba) dicatat pada semua survei.
Pemantauan panen ikan Tomia Wakatobi Ali Hanafi Komunto

Anggota Lembaga Masyarakat Adat, WNP, dan Dinas Perikanan Wakatobi melakukan pemantauan secara berkala terhadap panen ikan di Tomia. Foto © Ali Hanafi/Komunto

Setiap dua tahun, jagawana WNP memantau habitat dan tempat bersarang burung laut, hutan bakau, dan padang lamun. Tiga survei telah dilakukan untuk mengevaluasi persepsi pemangku kepentingan tentang efisiensi pengelolaan KKL, dan untuk meningkatkan efektivitas program penjangkauan dengan memahami tren persepsi lokal.

Seberapa sukseskah itu?

Hasil survei yang dilakukan telah menghasilkan peningkatan dukungan untuk KKL dan sistem zonasi. Misalnya, satu kelompok masyarakat di Pulau Tomia mengadopsi zona larangan tangkap sebagai bank ikan mereka, dan kemudian mendorong nelayan setempat untuk menghormati aturan dan peraturan zona larangan tangkap. Atas upaya tersebut kelompok masyarakat (Komunto) meraih UN Equator Award tahun 2010. Dan pada tahun 2012, Taman Nasional Wakatobi mendapat status Cagar Alam Manusia dan Biosfer atas upayanya merangkul pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan.

Meskipun respons WNP tidak selalu cukup cepat untuk mengatasi berbagai tantangan, namun perlu dicatat bahwa tingkat kesadaran dan pengetahuan penjaga WNP dan masyarakat telah meningkat secara signifikan untuk mendeteksi ancaman terhadap ekosistem laut dan daerah penangkapan ikan mereka. Untuk mengatasi tantangan ini, baik pemerintah kabupaten Wakatobi dan otoritas WNP sepakat untuk membuat forum multi-stakeholder yang terdiri dari lembaga pemerintah utama, dan perwakilan masyarakat untuk meningkatkan koordinasi dan memperkuat kolaborasi di antara sektor-sektor utama.

Pelajaran yang dipetik dan rekomendasi

  • Masukan pemangku kepentingan dari forum dengan masyarakat setempat, sebelum bekerja di lapangan, memastikan bahwa anggota masyarakat setempat dan pemerintah mendukung pekerjaan yang sedang dilakukan.
  • Pekerjaan yang luas dengan masyarakat setempat telah meningkatkan pemahaman lokal tentang manfaat KKL, dan kebutuhan mereka untuk terlibat dengan manajemen Taman Nasional.
  • Pekerjaan yang luas dengan pemerintah daerah sangat penting untuk mendorong dan memajukan rezim pengelolaan bersama antara pemerintah daerah dan Taman Nasional.
  • Memiliki tim yang solid, pekerjaan yang terstruktur, alokasi anggaran yang jelas, tugas yang jelas, dan tanggung jawab di antara semua anggota tim diperlukan untuk proyek yang efektif.
  • Pemantauan yang luas diperlukan untuk memasukkan analisis data yang komprehensif, untuk memastikan desain dan perencanaan KKL selaras dengan karakteristik biologis dan ekologis wilayah tersebut.
  • Taman Nasional Wakatobi dan pemerintah kabupaten telah sepakat untuk membentuk forum multi-pemangku kepentingan untuk mendorong komunikasi antara berbagai lembaga pemerintah dan perwakilan masyarakat, mempromosikan transparansi, dan meningkatkan koordinasi untuk memastikan tujuan konservasi diterapkan untuk mempertahankan pembangunan lokal.

Ringkasan pendanaan

dermawan anonim
perusahaan Indonesia
The Nature Conservancy

Organisasi pemimpin

Yayasan Konservasi Alam Nusantara
Taman Nasional Wakatobi

Mitra

Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan & Konservasi Alam
Kementerian Perikanan & Kelautan
Kabupaten Wakatobi
WWF
Universitas Haluoleo
Institut Sains Indonesia
OMS Lokal Forum Pulau – Komanangi, Forkani, Komunto dan Foneb

porno youjizz xmxx guru xxx Seks
Translate »